Hari Ini Barangkali

Puisi-puisi Kurliyadi ________________________________________________________________

 

DOA SAAT DI KAMAR MANDI

Aku lupa berdoa sebelum kita bertemu
Di pertigaan dekat tukang jamu malam itu
Kita bertanya dan memesan jamu anti anu
Entah pakai telur ayam kampung atau bebek merah pandan
Konon katanya bisa menguatkam dan bertahan
Meski gelombang keringat berpacu bersatu

Aku juga kadang lupa berdoa di kamar mandimu
Saat hujan tak turun namun niat ingin datang cepat
Meski pada kenyataannya kau lupa akan waktu
Menutup jendela terburu-buru
Demi membukakan pintu meski itu bukan suamimu
Tapi senyummu tetaplah yang terbaik dari gula madu

Tapi ada yang aneh,
Kamar mandimu bau anu, ada celana berpita
Sedikit kenal namun bukan punyamu
Ahh..,
Aku baru ingat bahwa aku hanya bermimpi
Dan baru tahu, ini bekas kontrakanmu dulu
Setahun yang lalu
Sebelum kita benar-benar punya cinta yang anu

2021

 

SANDAL SEPATU

“Berhati-hatilah saat denganku”
Di jalan, sejak kupinang dari toko uni uda
Dengan harga tak seberapa
Kau selalu berpesan di telinga kiriku
Agar aku tetap berjalan tanpa menoleh
Untuk sebuah alasan meniru nilai nasib orang lain

Hanya denganmu, paku, beling bahkan becek hujanpun
Selalu kau peluk demi mulus telapak
Yang sebenarnya belum tentu lebih baik darimu
Tiada lain sebagai alasan aku malu
Untuk tak mencucimu saat keadaanmu sudah buluk dan bau

Aku cemburu padamu
Sabar dan tak perlu menggerutu
Walau di pabrik dan toko tubuhmu terhargai
Dengan bermacam wajah dan tubuh yang seksi
Apalagi merk dengan nama latin dan harga tinggi
Namun saat kau dimiliki
Betapa kau selalu di bawah
Tempatmu mengawasi segala tanda bahaya

Atau kau akan terganti posisi terbaikmu
Dengan teman yang lain yang lebih baru dan trendi
Saat tubuhmu mulai sobek atau lepas sol jahitannya
Atau warna rambut tubuhmu memudar seiring usia
Kau terbuang sebagai alasan kebosanan dan
Tak ingin kalah gaya dari teman sekantor atau sekolah

Padamu yang bernama sandal sepatu
Maafkan aku
Yang selalu membuangmu sebagai sesuatu yang hilang
Atau sebagai benda yang sudah cukup umur untuk dibuang
Sebab pada tubuhmu mulus kakiku selalu aman dan nyaman
Walau terkadang kita lupa untuk berterima kasih
Atas jasamu yang melebihi segala hal dan waktu yang panjang

2021

 

YANG DITULIS BUJANGGA DI ATAS DALUANG

Dalam sajak dan air mata bujangga ada rindu tertunda
Seperti pukat angin mengenalkan barat pada timur
Utara pada selatan, dalam katamu di malam itu
Mari bercinta untuk tetap setia pada ranjang juga sisa kondom sutra

Bujangga berjalan seperti kata-kata terseok di daluang kosong
Tidak menemukan tulang majas yang cocok, basah atau dibuang tetangga
Didahului pemulung yang berangkat pagi buta
Sehabis salat subuh dan minta uang rokok sama istrinya,
Bujangga hanya menemukan sisa kokok ayam, dan bau wiski
Dari sebuah kafe dan pintu-pintu masuk diskotik picisan

Tak ada yang benar-benar nasibnya seperti bujangga
Puntung rokok dalam asbak menemani malam begadang
Kopi tinggal dingin ampas ketidakpastian bertulang
Menulis puisi-puisi tanpa kepala, kaki dan tak pakai celana
Entah pada siapa atau pada belahan hati
Hanya kepada tuhan, doa, dirinya sendiri yang bertaubat
Atas seranah cinta yang hianat

Dalam syairnya, bujangga menceritakan kesepian yang tulus
Tumbuh dari cahaya -cahaya pena, kemudian menjadi mantra
Tempat menghidu wahyu-wahyu, tentang cara hidup sampai berkalang tanah
Tentang mengatakan cinta yang lahir dari misteri ujung koma, titik
Juga tanda tanya

2021

 

HARI INI BARANGKALI

Barangkali siluet beludru termin
Yang pada akhirnya mengganti nama pertemuan
Bunga kantil di halaman, mawar beranjak mengampul bunga
Mengarahkan segala hal kepada markah
Kepada siapa malam menikahi pagi lagi

Hari ini,
Perahu kecil, pawana selatan
Membawa arus ke utara, bermesraan
Di atas gelak tawa nelayan dan bibir pantai
Yang mengganti pasir-pasir jadi gundukan
Lepas pancing, bawa ikan pulang

Barangkali setia tak harus memiliki temali
Mekar bahagia, cumbu senyum di bawah duka lara
Tempat mandinya galabah air mata

Tidak barangkali, atau nanti dan di sini
Segala jerat kenang menghakimi pahit hidup
Di mana bumantara dan hujan saling khianat untuk tidak pernah datang
Sebagai tamu musiman, di kala cinta dan air mata
Begitu sulit berciuman

2021

 

Kurliyadi, kelahiran Kepulauan Giligenting, Sumenep, Madura. Alumni Pondok Pesantren Mathali’ul Anwar, Pangarangan, Sumenep.

Menulis cerpen dan sajak, beberapa karyanya ditayangkan di media massa seperti Radar Madura, Waspada, Buletin Jejak, Banjarmasin Post, Radar Bekasi, Sastra Mata Banua, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Harian Cakrawala Makassar, Jogja Review,Post Bali, Majalah Infitah, Radar Surabaya, Rima News,Malang post,Analisa medan, Padang Express, Minggu Pagi, Buletin santre pangarangan, Koran Madura,Harian Fajar Sumatera, DinamikaNews, Persada Sastra, Harian Fajar Makassar,Buletin Kanal, Harian Rakyat Sultra, Sastra Sumbar, dan Detak Pekanbaru.

Karyanya juga terhimpun di beberapa antologi.

Related posts

Leave a Comment

eleven + twenty =